BALADA SI ROY #1 - JOE PENGARANG: GOLA GONG   jbookmaker by: http://jowo.jw.lt I. JOE   Laki-laki artinya mempunyai keberanian. Mempunyai martabat. Itu artinya percaya pada kemanusiaan. Itu artinya mencintai tanpa mengizinkan cinta itu menjadi jangkar. Itu artinya berjuang untuk menang.   Alexandros Panagoulis   BUMI di kota kecil di Karesidenan Banten, 91 km barat Jakarta, masih basah oleh hujan semalam. Butiran air pun masih menempel di dedaunan, gemerlap ibarat lampu pohon Natal yang disentuh matahari pagi. Kota yang terkenal dengan hal-hal mistik, debus, dan jawaranya. Juga tercatat dalam sejarah ketika kapal dagang para petualang Portugis merapat di Bandar Karang Hantu, legenda 1883 ketika Krakatau mengguncang dunia dengan meratakan 163 desa dan melumat 36.000 jiwa, dan si penjagal Hermann Daendels yang memulai kerja rodi pembuatan jalan tanah Jawa dari desa Anyer. Orang-orang yang memulai rutinitasnya di pagi yang basah di bulan September ini menyemarakkan kota. Orang-orang dengan seragam kantor, putih abu-abu, putih biru, putih merah, tawa cerah, dan sorot mata cemerlang bagai baris-baris yang menghiasai bait-bait puisi pagi ini.Semua bergembira menyambut air hujan setelah musim kemarau yang panjang. Becak-becak dengan lonceng bersahutan, berseliweran menyibak genangan air. Sopir-sopir yang mengantar anak majikan pun memencet klakson dengan meriah. Atau untuk golongan yang suka pamer dan sok aksi, merayakan kegembiraannya dengan caranya sendiri, yang kadang tidak bertanggung jawab. Mereka menggilaskan roda motor-mobilnya ke genangan air, sehingga bercipratan mengotori baju orang-orang. Akibat ulah itu memang bisa tercipta kegembiraan lain, tapi juga sekaligus merusak keindahan bait-bait puisi pagi ini. Remaja Roy mengayuh sepeda balapnya pelan-pelan. "Ayo, Joe!" serunya. Anjing herder itu menyalak kegirangan. Bulunya yang coklat kehitam-hitaman mengkilat. Gerak-geriknya melindungi majikannya dari marabahaya. lni adalah hari pertama bagi Roy sekolah di kota leluhurnya. Dia memang masih merasa risi dan sering mendengar dari mulut ke mulut tentang hal-hal aneh dan ganjil yang terjadi di sini. Orang yang lidahnya dipotong tapi bisa disambung lagi, yang dibacok golok tapi tidak mempan, dan, hiih... yang muntah-muntah mengeluarkan benda tajam! Untuk yang terakhir tadi, itu pekerjaan dukun-dukun aliran hitam yang diupah seseorang untuk mencelakakan orang lain. Teluh, namanya. Sukar untuk dipercaya oleh akal sehat kita. Itu sama ketika Roy kecil pertama kali terheran-heran melihat reog Ponorogo dan tusuk keris pada pertunjukan barong di Bali. Remaja Roy memang jadi pusat perhatian. Ke sekolah dengan sepeda balap dan anjing herder? Itu absurd. Sebuah objek sensasi. Dia tersenyum-senyum saja. Bukankah senyum itu bahasa dunia? Dia menyimpan sepeda balapnya. Ada empat koboi sombong dan angkuh sedang nangkring dengan Hardtop-nya. Di bodi mobil itu tertulis sembilan huruf besar-besar. Borsalino, bisik Roy mengeja huruf-huruf itu. Sorot mata mereka sinis dan tidak bersahabat. Dia mesti hati-hati dengan kelompok itu. Persaingan sudah dimulai saat itu juga. Itulah remaja. Dunia lelaki. Keras dan kadang kala tidak bertanggung jawab. Dia menyadari dan berani menghadapi risikonya. Di mana-mana, kalau dia sudah berhadapan dengan orang-orang semacam mereka, kehadirannya suka menimbulkan perang. Dan dia selalu memandang musuhnya seorang demi seorang sebelum memulai perkelahian. Kebiasaannya, dia tidak akan menyodorkan pipinya dulu, tapi langsung tinjunya! Sebenarnya dia paling senang berkawan dan menolong orang. Tapi itu tergantung bagaimana permulaannya ketika mereka menghargai seseorang. Bukankah kalau kita ingin dihargai, harus juga menghargai dulu orang lain? Lain waktu telinganya mulai mendengar suara-suara kecil, manja, dan genit menggemaskan. Roy tahu itu untuknya. Dia memang keren. Badannya jangkung atletis. Tampan tapi tidak kolokan. Berbeda dengan orang kebanyakan. Alis matanya tebal memayungi mata hitam berkilat ibarat menikam buruannya. Tapi kadang juga teduh seperti telaga di rimba belantara. Dan senyumnya memang memabukk